ABSTRAKSetelah Perang Dingin berakhir, karakter tata kelola perlindungan pengungsi
secara global berubah. Pengungsi lebih dilihat sebagai ancaman dan direspon
dengan kebijakan yang restriktif oleh negara-negara tujuan. Berangkat dari
kesenjangan literatur mengenai isu migrasi dari perspektif negara transit,
penelitian ini menelaah wacana perlindungan pengungsi yang bergulir di kalangan
aktor-aktor kunci dengan agensi yang dapat memengaruhi dinamika tata kelola
yang berlangsung. Penelitian ini menemukan adanya kontestasi wacana dengan
narasi-narasi yang didominasi aktor-aktor tertentu. Narasi tersebut adalah tentang
istilah transit sebagai metafora dan mengarah pada preferensi perlindungan
pengungsi yang sauvinistik. Wacana perlindungan pengungsi yang membuat
penanganan pengungsi mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan ini kemudian terkait
dengan kelanggengan power aktor negara sebagai aktor sentral dalam tata kelola
yang berlangsung.
ABSTRACTIn the post-Cold War era, global governance on refugee protection has changed.
Refugee is merely seen as a threat and responded by restrictive policies in
destination countries. Starting from literature gap on migration from transit
country perspective, this research seeks to analyze how discourse on refugee
protection evolves among key actors whose agency could influence ongoing
governance on this issue in Indonesia. This research finds that discourse
contestation takes place along with dominated narrations from certain actors.
Those narrations are about transit term as a metaphor and tendency to take
chauvinistic form of protection as preference. This discourse on refugee protection
that makes refugee management neglect humanity values is related to state actor?s
hegemony as central actor in this global governance