Ketika kekuasaan islam mengalami perluasan politik dan kemajuan material, tasawuf timbul sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bertasawuf tidak berarti miskin dan lusuh. Sangat keliru menyamakan kesalehan dengan kemiskinan. Tasawuf sejati bukan tidak memiliki dunia, tetapi tidak dimiliki dunia. Maka ketika dilanda kemiskinan, tasawuf bisa menjadi penawar. Penghayatan atas sebab-sebab kemunculan dan ajaran tasawuf, dapat menimbulkan nilai-nilai positif, misalnya untuk membentuk etika kerja, menjaga diri dari khianat (KKN), meredam sifat individualis, materialis dan hedonis. Tasawuf juga dapat mendorong kesadaran untuk "berbagi" terlebih saat jurang antara yang kaya dan miskin semakin mencolok akibat dominasi sistem kapitalis. Dalam pengentasan kemiskinan, melalui bukunya, Rakaiz al-iman baina al-Aqal wa al-Qulub, al-Ghazali mengajak umat Islam untuk mengamalkan nilai-nilai tasawuf, a.l. zuhud, yakni memenuhi segala yang haram, tidak berlebihan dalam perkara yang halal, dan meninggalkan apa saja yang dapat memalingkan diri dari mengingat Allah. Dan atsar,yakni tulus untuk mendahulukan yang memerlukan