Putusan MK nomor 14/PUU-XI/2013 mengamanatkan pemilihan umum nasional serentak antara pemilihan umum ekskutif (Presiden dan Wakil Presiden) dan pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota). Pasca amandemen UUD 1945 mengalami berbagai komplikasi dalam sistem politik Indonesia secara nasional. Demokratisasi mengantarkan bangsa Indonesia beralih sistem pemerintahan, yaitu dari sistem parlementer menuju sistem presidensial. Pemilu sebagai proses demokrasi terhadap kepemimpinan pemerintah yang dipilih langsung oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan Negara. Sistem pemerintahan melalui konsensus dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat mempunyai implikasi terhadap peningkatan efektifitas dan stabilitas negara. Problematikanya adalah antara sistem pemilu dengan sistem partai politik saat ini kurang efektif dalam pelaksanaan pemilu yang notabene diselenggarakan secara terpisah antara pilpres, pileg dan pemilukada. Sehingga menimbulkan berbagai kompleksitas problematika dalam pemerintahan (pemerintah pusat dan daerah). Secara hirarki, sistem presidensial kurang relevan dengan sistem pemilu yang terpisah antara pemilu nasional (pileg dan pilpres) dan pemilukada dengan sistem multi partai. Realitas politik dengan sistem yang dianut saat ini, menimbulkan berbagai konflik antar konstituen, ongkos politik yang sangat tinggi bagi pemerintah maupun kandidat (calon), menguatnya money politics yang sulit dihindari sebagai dampak suara terbanyak, pengaruh negatif terhadap psikologi kandidat ketika kalah ataupun menang dalam pertarungan politik, adanya koalisi yang tidak “sehat” dalam pelaksanaan pemerintahan, karena berbagai kepentingan ideologi politik dan individu, serta problematika terhadap kebijakan-kebijakan strategis pemerintahan. Korelasi antara sistem pemilu serentak dengan sistem multi partai yang disederhanakan merupakan solusi alternatif dalam penguatan sistem presidensial untuk meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia