Perkembangan teknologi informasi di dunia beberapa dekade terakhir juga membuat AS mengembangkan doktrin militer dengan berbasiskan teknologi informasi tersebut yang disebut sebagai ?network centric warfare‟. Ketika AS melakukan invasi ke Afghanistan sebagai bagian dari perang global melawan terorisme doktrin ?network centric warfare‟ diuji untuk dapat mengatasi kondisi perang asimetris di Afghanistan. Disparitas yang terjadi dalam perang asimetris di Afghanistan tidak hanya pada kekuatan militer, tetapi juga pada status, ideologi dan struktural. Pada masa perang di Afghanistan, doktrin ?network centric warfare‟ dapat berfungsi secara efektif untuk meningkatkan kemampuan tempur dan operasi militer AS. Tetapi disparitas ideologi dan struktural antara AS dengan kelompok teroris/perlawanan di Afghanistan membuat tujuan operasi militer di Afghanistan belum sepenuhnya dapat dicapai oleh AS.
The recent development of information technology within global society and contemporer industry also followed by US military as part of Revolution of Military Affairs to develop military doctrine that based on network organization and maximation of information technology to conducting the warfare. The doctrine has been developing since late 20th century within the concept of network centric warfare doctrine. This doctrine come into challenge when implement in the invasion to Afghanistan part of US global war on terrorism policy. The asymmetric conditions in Afghanistan war overcome effectively with network centric warfare doctrine for military combat operation to neutralize terrorist/insurgents organization network in Afghanistan but not comprehensively handling ideology and structural disparity as the war still raging until now.