ABSTRAKRomansa di tempat kerja merupakan fenomena yang niscaya terjadi dan menjadi bagian
tak terpisahkan dari dinamika organisasi. Romansa di tempat kerja memiliki dampak
ganda: positif dan negatif bagi organisasi. Oleh sebab itu, maka organisasi harus berhatihati
dalam melakukan formulasi kebijakan terkait masalah ini. Banyak literatur
menyatakan bahwa dalam pembuatan kebijakan terkait romansa di tempat kerja harus
dimulai dari teori keadilan organisasi. Penelitian ini mencoba mengungkapkan kebijakan
apakah yang dipersepsikan paling adil dalam merespon romansa di tempat kerja. Metode
kuasi eksperimen melalui instrumen skenario digunakan dalam penelitian. Metode ini
memungkinkan subjek eksperimen memberikan respon terkait berbagai kombinasi/variasi
hubungan romansa di tempat kerja yang didasarkan pada 4 jenis kriteria (jenis hubungan
- asal pasangan - dampak hubungan - jenis kebijakan). Hasil penelitian mengungkapkan
bahwa kebijakan memberikan konseling dipersepsikan sebagai kebijakan paling adil
untuk semua kombinasi/variasi hubungan. Hal ini menunjukkan bahwa respon organisasi
terhadap romansa di tempat kerja haruslah kebijakan yang tidak bersifat koersif.
ABSTRACTRomance in the workplace is a common phenomenon and inevitable from organization
dynamics. Romance in the workplace has double effects to the organization: positive and
negative. Therefore, organization must be careful in formulating policies concerning this
phenomenon. Many literatures said that in formulation policies concerning romance in
the workplace must be started from organizational justice theory. This research tries to
find out what policies which perceived as the most fair. Quasi experiment method with
scenario instrument is chosen. This method allows experiment subjects to give response
to different combinations/varieties of romance in the workplace based on 4 criterias (type
of romance – origin of couple – impact of romance – romance policies). Result shows
that giving counseling is perceived as the most fair policy for all combinations/varieties
of romance in the workplace. It shows that organization’s response to romance in the
workplace should not coercive policies.