ABSTRAKTindak pidana korupsi di Indonesia sudah dipandang
sebagai permasalahan yang sangat serius. Hal ini karena
kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh korupsi
sangat besar. Melihat betapa besar kerugian negara yang
diakibatkan oleh tindak pidana korupsi mendorong
pemerintah berupaya secara serius memberantas tindak
pidana korupsi. Perbuatan korupsi telah menyebar di segala bidang,
tidak terkecuali pada pemerintah daerah dimana tindak
pidana korupsi dilakukan oleh anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah ' (DPRD) . Maraknya korupsi oleh anggota DPRD
berawal dari pemberian kewenangan kepada DPRD yang lebih
luas dengan terbitkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah yang memberi wewenang secara
otonom kepada pemerintah daerah untuk menentukan anggaran
belanjanya. Melihat begitu besarnya kewenangan tersebut
mendorong pemerintah menerbitkan PP No. 110 Tahun 2000.
Tetapi pada kenyataannya beberapa DPRD di Kabupaten dan
Kota di Jawa Barat membuat anggaran belanja tidak
berpedoman pada PP 110 Tahun 2000 dengan pertimbangan
karena sudah di-judicial review oleh Mahkamah Agung yang
dalam putusannya menyatakan bahwa PP tersebut sudah tidak
mempunyai kekuatan hukum. Sebaliknya Jaksa tetap
menyatakan bahwa dengan tidak menggunakan PP 110 Tahun
2000 sebagai pedoman dalam pembuatan anggaran belanja
DPRD, telah terjadi tindak pidana korupsi karena dalam PP
tersebut anggaran belanja DPRD terutama untuk pos biaya
penunjang anggota DPRD ada pembatasan limitatif. Dalam proses persidangan ternyata di tingkat
Pengadilan Negeri Bogor, hakim memutus surat dakwaan
tidak diterima dan pada. Pengadilan Negeri Cianjur dan
Cirebon, hakim memutus bebas terdakwa. Padahal dalam
kenyataannya surat dakwaan JPU disamping mencantumkan
tidak dipedomaninya PP 110 Tahun 2000 dalam pembuatan
anggaran belanja DPRD sebagai unsur melawan hukum, juga
mencantumkan adanya penyimpangan dalam pelaksanaan
anggaran belanja DPRD serta mencantumkan unsur melawan
hukum materiil.