Di dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama angka ke 2 alinea kelima ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan bidang hukum kewarisan yang menjadi kewenangan peradilan agama yaitu mengadili perkara bagi mereka yang beragama Islam meliputi penentuan bagian masing-masing ahli waris. Dengan demikian penjelasan tersebut memberi penegasan tentang berlakunya hukum waris Islam yang berdasarkan pasal 49 UU Nomor 7 tahun 1989 merupakan kompetensi absolut Peradilan Agama. Ketentuan di atas ternyata dianulir oleh Penjelasan Umum angka 2 alinea ke 6 UU tersebut melalui pemberian hak opsi atau hak untuk memilih sistem hukum kewarisan selain dari hukum Kewarisan Islam. Pemberian hak opsi tersebut memberi peluang kepada umat Islam untuk tidak mentaati agamanya dan Pancasila. Di samping itu juga pemberian hak opsi dalam perkara warisan dalam praktek akan menimbulkan sengketa. Dalam penulisan ini menjadi permasalahan adalah apakah ahli waris dibenarkan untuk memilih sistem hukum selain hukum Kewarisan Islam dan bagaimana timbulnya sengketa diantara para ahli waris yang memilih sistem hukUm yang berbeda?. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptis analistis dengan pendekatan normatif teoritis dan yuridis empiris. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian hak opsi menurut hukum kewarisan Islam tidak dapat dibenarkan, karena hukum kewarisan Islam bersifat memaksa {dwingenrecht). Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia harta peninggalan seseorang diselesaikan menurut hukum yang berlaku bagi Pewaris. Kalau pewaris beragama Islam, maka hukum kewarisan Islam yang harus diterapkan. Disarankan kepada Ulama dan para ahli hukum Islam secara berkesinambungan- Kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat disarankan untuk mengamendemen Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 khususnya mengenai hak opsi untuk dihapuskan.