Semua untuk kaum laki-laki dan tidak ada sesuatu pun untuk kaum perempuan, itulah hukum dan ajaran kami” merupakan cuplikan kalimat dalam surat Kartini kepada Stella M. Zeehandelaar tanggal 6 November 1899 ketika beliau mencoba untuk menggambarkan kondisi hukum dan kebudayaan yang berlaku di Indonesia saat itu. Ternyata setelah lewat lebih dari seabad kondisi hukum di Negara ini tidak kunjung mengalami perubahan. Hukum masih tetap untuk kaum laki-laki dan kondisi hukum yang demikianlah yang melegitimasi penindasan terhadap kaum perempuan, termasuk dalam bentuk prostitusi. Prostitusi merupakan salah satu manifestasi ketidakadilan gender dan ketidakadilan itu sudah melembaga bahkan sampai ke hukum. Kondisi tersebut mengakibatkan pengalaman perempuan pekerja seks komersial tidak dipertimbangkan dalam rangka pembentukan hukum. akibatnya, hukum gagal memberikan perlindungan yang perempuan pekerja seks perlukan untuk melawan penindasan. Penelitian ini menerapkan inti gagasan dari pendekatan hukum berperspektif perempuan untuk menganalisa Pasal 505 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai salah satu dasar dilakukannya razia terhadap pekerja seks komersial, dan Peraturan Daerah (Perda) Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran, khususnya Pasal 4 Perda tersebut. Dengan demikian akan terlihat bahwa kedua Peraturan Perundang-undangan tersebut tidak mampu memberikan keadilan bagi perempuan pekerja seks komersial, yang mengakibatkan mereka tidak dapat menikmati hak-hak dasarnya dan tidak memperoleh perlindungan hukum. Selanjutnya kasus pengalaman perempuan pekerja seks komersial, yang diperoleh dari wawancara, digunakan sebagai unit analisis untuk melihat hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Kerangka analisis yang dipergunakan untuk memfokuskan analisa pengalaman perempuan pekerja seks komersial adalah kerangka yang dibentuk dari teori-teori yang disampaikan oleh Louise Brown dalam bukunya yang berjudul Sex Slaves, yang merupakan hasil penelitiannya terhadap sindikat perdagangan perempuan di Asia. Dengan menarik pengalaman perempuan sebagai bahan pertimbangan dalam pembentukan hukum, maka diketahui bahwa upaya memutus mata rantai suatu jaringan prostitusi tidak tepat sasaran jika menyerang pekerja seks komersial yang tidak lain hanya sekedar komoditas industri seks, yang perannya mudah tergantikan, dan mengabaikan aktivitas para pengelola dan konsumen industri seks. Hukum yang tepat sasaran adalah hukum yang berpihak kepada perempuan pekerja seks komersial bukan hanya sekedar hukum yang netral dan tidak berpihak, yang sesungguhnya malah melakukan legitimasi penindasan terhadap perempuan.