Pada dasarnya setiap perjanjian membutuhkan kepastian dalam pelaksanaannya, sehingga semua pihak di dalamnya tidak merasa dirugikan. Perlindungan terhadap para pihak dalam suatu perjanjian terlihat dari adanya ketentuan pembatalan dan pengakhiran perjanjian yang harus dilakukan melalui suatu permohonan kepada hakim. Hal demikian ditegaskan dalam Pasal 1266 KU Perdata ayat (2) KUHPerdata yang menyatakan persetujuan atas pembatalan suatu perjanjian harus dimintakan kepada hakim. Secara normatif, ketentuan tersebut memberikan kepastian hukum kepada suatu perjanjian, secara sepihak. Akan tetapi, ketentuan tersebut dikesampingkan dengan dibentuknya Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang berdasarkan Undang-undang No. 10 tahun 1998 jo. Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1999 dapat membatalkan dan mengakhirkan perjanjian yang menurut pertimbangan BPPN merugikan. Mekanisme pembatalan tersebut dilakukan hanya melalui suatu keputusan Ketua BPPN, dan bukan berdasarkan putusan hakim. Kewenangan tersebut melekat kepada BPPN disebabkan kedudukannya sebagai badan khusus yang harus secara segera dan cepat memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan nasional. Namun, akan lebih baik jika kewenangan tersebut dijalankan dengan disertai pengawasannya dari pihak Pemerintah untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan dalam pelaksanaannya.