Pemilihan model fungsi produksi yang baik sangat penting dalam menganalisis struktur teknologi produksi, terutama dalam mengestimasi technical change dan elastisitas harga input. Secara prinsip, penggunaan Indirect Production Function dan Fungsi Biaya menyediakan informasi yang sama tentang struktur teknologi produksi, sehingga kedua fungsi dapat dipilih. Namun demikian di dalam penerapan empiris, pemilihan diantara kedua fungsi tersebut tergantung pada asumsi endogenitas atau eksogenitas dari output. Perlakuan terhadap output, apakah dianggap sebagai variabel endogen ataukah sebagai eksogen, pada kelanjutannya akan mempengaruhi hasil empiris. Pada kenyataannya eksogenitas output tidak konsisten dengan perilaku maksimasi profit karena di dalam pemaksimuman profit, perusahaan memperlakukan output sebagai penentu yang bersifat endogen. Selain itu, peneliti sebelumnya juga telah membuktikan bahwa penggunaan Fungsi Biaya adalah tidak tepat di dalam menganalisis sektor industri manufaktur. Dengan demikian, penggunaan model Indirect Production Function akan menampilkan hasil yang lebih tepat daripada Fungsi Biaya. Untuk kemudahan aplikasi empiris, spesifikasi trancendental logarithmic dipakai pada Indirect Production Function. Dan tidak sebagai mana peneliti sebelumnya yang secara a priori menerapkan asumsi-asumsi tertentu terhadap karakterisktik teknologi produksi di sektor industri manufaktur, pada studi ini dilakukan terlebih dahulu pengujian-pengujian hipotesis terhadap berbagai macam asumsi tersebut. Dari pengujian hipotesis didapat kesimpulan bahwa proses produksi tidak mengikuti bentuk Cobb-Douglas yang constant return to scale melainkan increasing return to scale. Karakteristik lainnya adalah bahwa technical change pada industri manufaktur tidak membuat bias penggunaan input, apakah itu input-saving maupun input-using. Netralnya technical change tersebut juga menyiratkan suatu kondisi dimana substitusi antara input yang terjadi, yaitu antara kapital dengan labor dan energi dengan labor bukanlah disebabkan oleh adanya technical change. Juga terdapat indikasi bahwa tingkat technical change yang lambat mungkin berkaitan dengan harga-harga kapital, labor dan energi yang tinggi. Estimasi parameter menunjukkan bahwa input energi dan kapital bersifat komplementer, sedangkan energi dan labor dapat bersubstitusi, begitu juga dengan kapital dan labor, dapat saling bersubstitusi. Walaupun antara kapital dan tenaga kerja dapat saling bersubstitusi namun pada kenyataannya permintaan kapital paling tidak sensitif terhadap perubahan harga tenaga kerja. Sedangkan pada nisi tenaga kerja, efek perubahan harga input lainnya relatif kecil terhadap permintaan tenaga kerja. Jadi, baik tenaga kerja maupun kapital paling sensitif terhadap perubahan harganya sendiri. Estimasi dan model membawa kita kepada beberapa implikasi kebijakan ekonomi yang penting. Hasil penelitian menyarankan bahwa, dan segi harga faktor produksi, pembentukan modal (capital formation) dapat dirangsang dengan penurunan harga input kapital itu sendiri, harga energi, harga material, dan atau dengan jalan meningkatkan harga tenaga kerja. Namun demikian, untuk merangsang capital formation ini, pengaruh dari harga energi, material dan tenaga kerja sangat kecil (nilai elastisitas Marshalliannya berada pada wilayah yang tidak elastis). Hal ini berbeda dengan harga kapital itu sendiri yang sangat berpengaruh terhadap capital formation. Dan sisi tenaga kerja, permintaan terhadap input tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh perubahan pada tingkat upah. Perubahan pada harga input lainnya hanya menghasilkan efek yang relatif kecil terhadap penggunaan tenaga kerja. Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa kebijakan nasional untuk merangsang perekonomian dengan menurunkan interest rate tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap kebijakan konservasi energi, atau dengan kata lain tidak akan merusak kebijakan konservasi energi. Hal ini disebabkan karena elastisitas permintaan energi berada pada wilayah yang inelastis.