Disertasi ini menelaah possibilitas politik dan konsekuensi konstitutifnya pada kememadaian politik demokrasi sehubungan kelongsoran entitas pertimbangan kolektif dewasa ini. Paradoks etikopolitik, sebagai akibat radikalisasi proliferasi pluralitas ini, terbukti tak memunahkan possibilitas politik sejauh paradigma pemahamannya diubah lebih sebagai utopia ketimbang upaya koeksistensial. Interrelasi sosial lalu harus lebih diterima sebagai koeksistensi antar unikum, sehingga poros-poros ketertujuan sosiopolitik berubah menjadi kebebasan, keragaman, dan toleransi. Betapapun, politik demokrasi pluralis terbukti tetap memadai untuk menghadapi agenda perubahan ini sejauh paradigma pemahaman dan penerapannya juga diubah lebih sebagai politik dissensus ketimbang konsensus. Dalam kerangka pluralisme demokrasi dissensus, politik keragamannya mengalami radikalisasi lewat konsekuensi konstitutif pengakuan ketakterreduksian alteritas maupun diskursivitas keliyanan agen sosial, sehingga mengidap infinitas kontingensi yang membuatnya lebih inklusif, dan karena itu bisa lebih memadai bagi era paradoks ini.